Teng! Jam dinding berdentang satu kali. Malam
semakin larut, tapi Anis masih duduk di ruang tengah. Sejak tadi matanya sulit
terpejam. Baru beberapa jam yang lalu Ibu Mas Iqbal, suaminya, menelepon, “Nis,
Alhamdulillah, barusan ini keponakanmu bertambah lagi…” suara ibu terdengar
sumringah di ujung sana.
“Alhamdulillah… laki-laki atau perempuan, Bu?”
Anis tergagap, kaget dan senang. Sudah seminggu ini keluarga besar Mas Iqbal
memang sedang berdebar-debar menanti berita ini, adik suaminya, yang akan
melahirkan.
“Laki-laki. Cakep lho, Nis, mirip Mas-mu diwaktu
bayi…” Ibu tertawa bahagia. Dini memang adik yang termirip wajahnya dengan Mas
Iqbal.
“Selamat ya, Bu, nambah cucu lagi. Salam buat Dini,
Insya Allah besok pulang kerja, Anis dan Mas Iqbal akan jenguk ke rumah sakit.”
janji Anis sebelum menutup pembicaraan dengan Ibu yang sedang menunggu Dini di
rumah sakit.
Setelah menutup telepon, Anis termenung sesaat. Ia
jadi teringat usia pernikahannya yang telah memasuki tahun ke lima, tapi belum
juga ada tangis si kecil menghiasi rumah mereka. Meskipun demikian ia tetap
ikut merasa sangat bahagia mendengar berita kelahiran anak kedua Dini di usia pernikahan
mereka yang baru tiga tahun.
“Kok melamun?!” Mas Iqbal yang baru keluar dari
kamar mandi mengagetkannya. Ia memang pulang agak malam hari ini, ada rapat di
kantor katanya. Air hangat untuk mandinya sempat Anis panaskan dua kali tadi.
“Mas, ibu tadi mengabari, Dini sudah melahirkan.
Bayinya laki-laki,” cerita Anis.
“Alhamdulillah… Dila sudah punya adik sekarang,”
senyum Mas Iqbal sambil mengeringkan rambutnya, tapi entah mengapa Anis
menangkap ada sedikit nada getir dalam suaranya. Anis menepis perasaannya
sambil segera menata meja menyiapkan makan malam.
Selepas Isya’an bersama, Mas Iqbal segera terlelap,
seharian ini ia memang lelah sekali. Anis juga sebenarnya agak lelah hari ini.
Ia memang beruntung, selepas kuliah dan merasa tidak nyaman bekerja di kantor,
Anis memutuskan untuk membuat usaha sendiri saja.
Dibantu temannya yang seorang notaris, akhirnya Anis
mendirikan perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang design interior.
Anis memang berlatar pendidikan bidang tersebut, ditambah lagi ia punya bakat
seni untuk merancang sesuatu menjadi indah dan menarik. Bakat yang selalu tak
lupa disyukurinya. Keluarga dan teman-teman banyak yang mendukungnya, akhirnya
sekarang ia sudah memiliki kantor mungil sendiri tidak jauh dari rumahnya.
Dan, seiring dengan kemajuan dan kepercayaan yang
mereka peroleh, perusahaannya sedikit demi sedikit mulai dikenal dan dipercaya
masyarakat. Tapi Anis merasa itu tidak terlalu melelahkannya, semua dilakukan
semampunya saja, sama sekali tidak memaksakan diri, malah menyalurkan hobi dan
bakatnya merancang dan mendesign sesuatu sekaligus mengisi waktu luangnya.
Beberapa karyawan yang sigap dan cekatan membantunya. Malah sekarang sudah ada
beberapa designer interior lain yang bergabung di perusahaan mungilnya.
Itu sebabnya sesekali saja Anis agak sibuk mengatur
ketika ada pesanan mendesign yang datang, selebihnya teman-teman yang
mengerjakan. Waktu Anis terbanyak tetap buat keluarga, mengurus rumah atau
masak buat Mas Iqbal meski ada Siti yang membantunya di rumah, menurutnya itu
tetap pekerjaan nomor satu. Anis juga bisa tetap rutin mengaji mengisi
ruhaniahnya. Namun karena kegiatannya itu, biasanya ia tidur cepat juga, tapi
malam ini rasa kantuknya seperti hilang begitu saja. Berita dari ibu tadi
membuat Anis teringat lagi. Teringat akan kerinduannya menimang si kecil, buah
hatinya sendiri.
Lima tahun pernikahan adalah bukan waktu yang
sebentar. Awalnya Anis biasa saja ketika enam bulan pertama ia tak kunjung
hamil juga, ia malah merasa punya waktu lebih banyak untuk suaminya dan
merintis kariernya. Seiring dengan berjalannya waktu dan tak hentinya orang
bertanya, dari mulai keluarga sampai teman-temannya, tentang kapan mereka
menimang bayi, atau kenapa belum hamil juga, Anis mulai khawatir. Fitrahnya
sebagai wanita juga mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya, atau
kapan ia hamil seperti juga pasangan-pasangan lainnya…
Atas saran dari banyak orang, Anis mencoba
konsultasi ke dokter kandungan. Seorang dokter wanita dipilihnya. Risih juga
ketika menunggu giliran di ruang tunggu klinik, pasien di sekitarnya datang
dengan perut membuncit dan obrolan ringan seputar kehamilan mereka. Atau ketika
salah seorang diantara mereka bertanya sudah berapa bulan kehamilannya.
“Saya tidak sedang hamil, hanya ingin konsultasi
saja…” senyum Anis sabar meski dadanya berdebar, sementara Mas Iqbal semakin
pura-pura asyik dengan korannya. Anis bernafas lega ketika dokter menyatakan ia
sehat-sehat saja. Hindari stress dan lelah, hanya itu nasehatnya.
Setahun berlalu. Di tengah kebahagiaan rumah
tangganya, ada cemas yang kian mengganggu Anis. Kerinduan menimang bayi semakin
menghantuinya. Sering Anis gemas melihat tingkah polah anak-anak kecil
disekitarnya, dan semakin bertanya-tanya apa yang terjadi dengan dirinya.
Setelah itu mulailah usaha Anis dan suaminya lebih gencar dan serius
mengupayakan kehamilan. Satu demi satu saran yang diberikan orang lain mereka
lakukan, sejauh itu baik dan tidak melanggar syariat agama. Beberapa dokter
wanita juga kadang mereka datangi bersama, meski lagi dan lagi, sama saja
hasilnya. Sementara hari demi hari, tahun demi tahun terus berlalu.
Kadang Anis menangis ketika semakin gencar
pertanyaan ditujukan padanya atau karena cemas yang kerap mengusik tidurnya.
Mas Iqbal selalu sabar menghiburnya, “Anis, apa yang harus disedihkan? Dengan
atau tanpa anak, rumah tangga kita akan berjalan seperti biasa. Aku sudah
sangat bahagia dengan apa yang ada sekarang. Insya Allah tidak akan ada yang
berubah dalam rumah tangga kita…” kata Mas Iqbal suatu ketika seperti bisa membaca
jalan pikirannya.
Suaminya memang tahu kapan Anis sedang mendalam
sedihnya dan harus dihibur agar tidak semakin larut dalam kesedihan. Di
saat-saat seperti itu memang cuma suaminya yang paling bisa menghiburnya, tentu
saja disamping do’a dan berserah dirinya pada Tuhan. Kadang Anis heran kenapa
Mas Iqbal bisa begitu sabar dan tenang, seolah-olah tidak ada apapun yang
terjadi. Dia selalu ceria dan optimis seperti biasa. Apakah memang pria tidak
terlalu memasukkan unsur perasaannya atau mereka hanya pintar menyembunyikan
perasaan saja? Anis tidak tahu, yang pasti sikap Mas Iqbal banyak membantu
melewati masa-masa sulitnya.
Sebenarnya Anis juga bukan selalu berada dalam
kondisi sedih seperti itu. Sesekali saja ia agak terhanyut oleh perasaannya,
biasanya karena ada faktor penyulutnya, yang mengingatkan ia akan mimpinya yang
belum terwujud itu. Selebihnya Anis bahagia saja, bahkan banyak aktivitas atau
prestasi yang diraihnya. Buatnya tidak ada waktu yang disia-siakan. Selagi
sempat, semua peluang dan kegiatan positif dilakukannya. Kadang-kadang beberapa
teman menyatakan kecemburuannya terhadap Anis yang bisa melakukan banyak hal
tanpa harus disibuki oleh rengekan si kecil. Anis tersenyum saja.
Anis juga tidak pernah menyalahkan teman-temannya
kalau ketika sesekali bertemu obrolan banyak diisi tentang anak dan seputarnya.
Buatnya itu hal biasa, usia mereka memang usia produktif. Jadi wajar saja kalau
pembicaraan biasanya seputar pernikahan, kehamilan, atau perkembangan anak-anak
mereka yang memang semakin lucu dan menakjubkan, atau cerita lain seputar itu.
Biar bagaimanapun Anis menyadari menjadi ibu adalah proses yang tidak mudah dan
perlu belajar atau bertukar pengalaman dengan yang lain.
Tapi kadang-kadang, sesekali ketika Anis sedang
sedih, rasanya ia tidak mau mendengar itu dulu. Anis senang juga jika ada yang
berusaha menjaga perasaannya diwaktu-waktu tertentu, dengan tidak terlalu
banyak bercerita tentang hal tersebut, bertanya, atau malah menyemangati dengan
do’a dan dukungan agar sabar dan yakin akan datangnya si kecil menyemarakkan
rumah tangganya.
Anis tersadar dari lamunannya. Diminumnya segelas
air dingin dari lemari es. Sejuk sekali. Meskipun malam tapi udara terasa
pengap. Anis meneruskan tidurnya. Dalam lelap ia bermimpi bermain bersama
beberapa gadis kecil. Senang sekali.
***
Siang keesokan harinya, Anis sedang merancang sebuah
ruang pameran di kantornya. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin
karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya
merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak
Anis, ada tamu yang mau bertemu.”
“Dari mana, Fit?” tanya Anis.
“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal
aplikasi mbak Anis bulan kemarin.”
“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.”
jawab Anis.
Setelah berbincang-bincang dengan tamunya, akhirnya
Anis menyepakati mengangkat salah satu anak yatim yang diasuh yayasan tersebut
sebagai putra asuhnya. Namanya Safiq. Anis memang selalu menyisihkan rezekinya
untuk mereka yang membutuhkan. Dan kali ini, ia berniat untuk menyantuni dan
mengasuh Safiq seperti anaknya sendiri, itupun setelah dimusyawarahkan dengan
suaminya. Anis berharap, dengan begitu ia bisa cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang
mengatakan, mungkin Anis perlu ’pancingan’ agar bisa lekas dapat momongan.
Begitulah, mulai saat itu, Safiq yang berusia 12
tahun, tinggal bersama Anis dan Iqbal.
Mempunyai ’anak’, membawa banyak hikmah bagi Anis.
Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun kebutuhan Safiq berusaha ia
penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan sekolah bocah itu yang
tahun depan mau masuk SMP. Anis juga mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada
Safiq, hingga mas Iqbal yang merasa tersisih, sempat melayangkan protes sambil
bercanda, ”Hmm, gimana kalau punya anak beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh
tidur di kamar.”
Anis cuma tertawa menanggapinya. ”Ah, mas bisa aja.”
dia mencubit pinggang laki-laki itu. Dan selanjutnya merekapun bergumul di
ranjang untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap persetubuhan kali ini
akan membuahkan hasil.
Esok paginya, seperti biasa, Anis menyiapkan sarapan
bagi Safiq. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan bocah itu tinggal bersamanya.
Dan Anis merasa senang sekaligus bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak
salah, Safiq sangat pintar dan baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski
agak sedikit pendiam. Hanya kepada Anis lah ia mau berbincang, sedangkan dengan
mas Iqbal, Safiq seperti menjaga jarak.
”Kenapa, Fiq?” tanya Anis menanyakan sebabnya saat
mereka sarapan bersama. Saat itu mas Iqbal sudah berangkat ke kantor, sedangkan
Safiq masuk siang.
Bocah itu terdiam, hanya jari-jari tangannya yang
bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi gorengnya.
”Tidak apa-apa, ngomong saja sama Umi.” kata Anis.
Dia memang menyuruh Safiq untuk memanggilnya dengan panggilan ’Umi’ sedangkan
untuk mas Iqbal ’Abi’.
”Ah, nggak, Mi.” Safiq masih tampak takut.
Anis menatapnya. Di usianya yang baru beranjak
remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar nanti, pasti banyak gadis yang
akan terpikat kepadanya. ”Umi nggak akan marah.” kata Anis lagi, penuh dengan
sabar.
Safiq menggeleng, dia menundukkan kepalanya semakin
dalam.
Kasihan, Anis pun mendekatinya. ”Tidak apa-apa kalau
kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” Dipeluknya bocah kecil itu,
diletakkannya kepala Safiq di atas gundukan buah dadanya. Ia biarkan Safiq
menangis di situ.
”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Anis
penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir
seperti itu.
Lama mereka berpelukan, hingga Anis merasa tangis
Safiq perlahan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti. Ia sudah akan
melonggarkan dekapannya saat merasakan sesuatu yang lembut mengendus dan
menyundul-nyundul pelan buah dadanya. Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan? Anis
memang cuma mengenakan daster longgar saat itu, hanya saat keluar rumah atau
ada tamu pria, ia mengenakan jilbab. Dengan pakaian seperti ini, bibir Safiq
yang bermain di belahan payudaranya sungguh sangat-sangat terasa.
Cepat Anis melirik ke bawah, dilihatnya si bocah
yang kini berusaha mencium dan menyusu ke arah buah dadanya. ”Safiq!” Anis
menegur, tapi dengan suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu
kembali mengkerut. Padahal dalam hati, Anis benar-benar mengutuk aksinya yang
sudah kurang ajar.
Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya
parau, sementara tubuhnya gemetar pelan.
Tak tega, Anis segera memeluknya kembali. ”Tidak
apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu tidak boleh.” ia membelai rambut
Safiq penuh rasa sayang.
Safiq mengangguk. ”Maaf, Mi. Safiq cuman pengen tahu
gimana rasanya nenen.”
Anis terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya
tak percaya.
”Safiq kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan
nenen, siapa ibu Safiq aja nggak ada yang tahu. Safiq ditinggal di depan pintu
yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.
Anis meneteskan air mata mendengarnya, ia mendekap
dan mengelus kepala Safiq lebih erat lagi. Setelah terdiam cukup lama, Anis
akhirnya membuka suara, ”Bener kamu pengen nenen?” tanyanya dengan suara berat.
Keputusan sudah ia ambil, meski itu awalnya begitu berat.
Safiq menganggukkan kepala.
”Janji ya, cuma nenen?” tanya Anis sambil memandang
matanya.
”I-iya, Mi.” angguk Safiq cepat.
”Dan jangan ceritakan ini sama orang lain, termasuk
pada Abi. Karena anak sebesar kamu sudah tidak seharusnya nenen pada Umi, ini
tidak boleh. Tapi karena kasihan, Umi terpaksa mengabulkannya.” terang Anis,
terbersit nada getir dalam suaranya.
”Iya, Mi. Safiq janji.” kata bocah kecil itu.
Begitulah, dengan perlahan Anis pun menurunkan dasternya
hingga buah dadanya yang besar terlihat jelas. Meski masih tertutup BH, benda
itu tampak begitu indah. Ukurannya yang di atas rata-rata membuatnya jadi
tampak sesak. Anis segera membuka cup BH-nya, tanpa ada yang menyangga, bulatan
kembar itupun terlontar dengan kerasnya hingga sanggup membuat mata bulat Safiq
makin melotot lebar.
”M-mi…” Safiq memanggil, tapi pandangannya
sepenuhnya tertuju pada area dada sang ibu angkat yang kini sudah terbuka
lebar, siap untuk ia jamah.
”Ayo, katanya mau nenen?” kata Anis sambil menarik
salah satu bulatan payudaranya ke depan, memberikan putingnya yang merona merah
pada Safiq.
Tahu ada benda mulus menggiurkan yang mendekat ke
arah mulutnya, Safiq pun membuka bibir, dan mencaplok puting Anis dengan
perlahan, ”Ahm…” lenguh mereka berdua hampir bersamaan. Anis kegelian karena
ada lidah basah yang melingkupi ujung payudaranya, sedangkan Safiq merasa
nikmat mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. Lidahnya terus menari
membelai puting payudara Umi-nya, sedangkan bibirnya terus mengecap untuk
mencucup dan menghisap-hisapnya.
”Ah, jangan keras-keras, Fiq. Sakit!” desis Anis di
sela-sela jilatan sang anak angkat. Ia mulai merasa merinding, jilatan Safiq
mengingatkannya pada mas Iqbal, yang biasa melakukannya sebelum mereka tidur.
Meski aksi Safiq terasa agak sedikit kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah
sama.
Sementara itu, Safiq dengan tak sabar dan penasaran
terus menyusu. Mulutnya dengan liar bermain di gundukan payudara Anis. Tidak
cuma yang kiri, yang kanan juga ia perlakukan sama. Kadang Safiq malah
membenamkan wajahnya di belahan payudara Anis yang curam, dan membiarkan
mukanya dikempit oleh bulatan kenyal itu, sambil tangannya mulai meremas-remas
ringan.
”Ah, Fiq.” rintih Anis mulai tak sadar. Ia menekan kepala
bocah itu, berharap Safiq mempermainkan payudaranya lebih keras lagi.
Safiq yang gelagapan berusaha mencari udara,
digigitnya salah satu puting Anis hingga umi-nya itu menjerit kesakitan.
”Auw, Fiq! Apaan sih, sakit tahu!” Anis mendelik
marah, tapi melihat muka Safiq yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan,
iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”
”Gak apa-apa, Mi.” Safiq tersenyum, kedua tangannya
masih hinggap di dada Anis dan terus meremas-remas ringan disana.
”Gimana, kamu suka?” tanya Anis sambil membelai
kepala Safiq penuh rasa sayang.
Si bocah mengangguk, ”Iya, Mi.”
”Mau lagi?” tanya Anis.
Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.
”Kalau begitu, ayo sini.” Anis pun menarik kepala
bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan payudaranya.
Begitulah, sampai siang, Safiq terus menyusu di
bongkahan payudara Anis, sang ibu angkat yang masih berusia muda, tidak lebih
dari 30 tahun. Dengan payudara yang masih mulus sempurna, Safiq benar-benar
dimanjakan. Ia menjadi bocah yang paling beruntung di dunia. Sementara Anis
juga merasa senang karena kini ia menjadi semakin intim dan akrab dengan sang
putra angkat yang sangat ia sayangi.
***
Rutinitas itu terus berlangsung. Kapanpun dan
dimanapun Safiq ingin, asal tidak ada orang -terutama mas Iqbal- Anis dengan
senang hati menyusuinya. Dan seperti yang sudah dijanjikan, Safiq memang tidak
pernah meminta lebih. Bocah itu cuma meremas dan menghisap, tidak macam-macam.
Ditambah lagi, sama sekali tidak ada nafsu ataupun birahi dalam setiap
jilatannya, Safiq benar-benar murni melakukannya karena pengen nenen. Anis jadi
merasa aman.
Tapi semua itu berubah saat Safiq naik ke jenjang
SMP…
Umur yang bertambah membuat pikiran bocah itu
semakin berkembang. Dari yang semula cuma nenen biasa, kini berubah menjadi
jilatan mesra yang sangat lembut namun sangat menggairahkan. Remasan bocah itu
juga semakin bervariasi; kadang keras, kadang juga lembut. Kalau menghisap
puting yang kiri, Safiq memijit dan memilin-milin yang kanan, begitu pula
sebaliknya. Tak jarang Safiq mendempetkan dua puting itu dan menghisapnya dalam
satu waktu. Pendeknya, Safiq sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang tahu apa
arti seks yang sesungguhnya.
Anis bukannya tidak mengetahui hal itu. Ia sudah
bisa menebaknya saat melihat penis Safiq yang sedikit ereksi saat mereka sedang
melakukan ’ritual’ itu. Tapi Anis pura-pura tidak tahu dan mendiamkannya saja.
Toh Safiq juga tidak berbuat macam-macam, anak itu tetap ’sopan’. Malah Anis
yang panas dingin, itu karena ukuran penis Safiq yang saat ini sudah melebihi
punya mas Iqbal, padahal usia bocah itu masih sangat muda. Gimana kalau nanti
sudah besar… ah, Anis tidak kuat membayangkannya.
Esoknya, saat membangunkan Safiq untuk sholat subuh,
Anis disuguhi pemandangan baru lagi. Saat itu Safiq masih tertidur lelap, tapi
tidak demikian dengan penisnya. Benda itu sedang berdiri dan menjulang begitu
tegarnya. Sempat Anis terpana dan terpesona untuk beberapa saat, tapi setelah
bisa menguasai diri, ia segera membangunkan sang putra, ”Fiq, ayo sholat dulu.”
Safiq cuma menggeliat lalu meneruskan tidurnya. Anis
jadi tergoda. Apalagi sekarang di depannya, penis Safiq jadi kelihatan lebih
menantang. Ukurannya yang begitu besar membuat Anis tercengang, dengan warna
coklat kehitaman dan ‘kepala’ yang masih kelihatan imut (Safiq baru bulan
kemarin disunat), benda itu jadi terasa seperti magnet bagi Anis. Tanpa terasa
perlahan jari-jarinya terulur dan mulai menggenggamnya. Ia memperhatikan wajah
sang putra angkat, Safiq terlihat tenang saja, matanya tetap terpejam rapat
sambil menikmati tidur pulasnya.
Dengan hati berdebar dan penuh perhitungan, takut
dipergoki oleh sang suami -juga takut bila Safiq tiba-tiba bangun- Anis mulai
mengocok benda panjang itu perlahan-lahan. Saat diperhatikannya Safiq tetap tertidur,
malah bocah itu seperti menikmatinya -terlihat dari desah nafasnya yang semakin
memburu dan tarikan lirih karena terangsang- Anis pun mempercepat kocokannya.
Hingga tak lama kemudian berhamburan cairan putih kental dari ujungnya. Safiq
ejakulasi. Yang gilanya, akibat rangsangan Anis, ibu angkatnya sendiri.
Merasa sangat bersalah, dengan tergopoh-gopoh Anis
segera membersihkannya. Saat itulah, Safiq tiba-tiba terbangun. ”Eh, umi…”
gumamnya tanpa tahu apa yang terjadi.
Anis mengelap sisa sperma Safiq ke ujung dasternya,
”Ayo sholat dulu, sayang.” katanya dengan nada suara dibuat senormal mungkin,
padahal dalam hati ia sangat berdebar-debar.
Safiq memperhatikan cairan putih kental yang
berceceran di perutnya. Untuk yang ini, Anis tidak sempat membersihkannya. ”Ini
apa, Mi?” Safiq mengambil cairan itu dan mempermainkan di ujung jarinya, lalu
mengendusnya ke hidung. ”Ih, baunya aneh.” bocah itu nyengir.
Anis tersenyum, ”Tidak apa-apa, itu tandanya kamu
sudah mulai dewasa.”
Safiq memandang umi-nya, ”Dewasa? Safiq nggak
ngerti. Maksud Umi apaan?” tanyanya.
”Nanti Umi jelaskan, sekarang mandi dulu ya.” Anis
membimbing putra kesayangannya turun dari ranjang.
Safiq menggeleng, ”Nggak mau ah, Mi. Dingin!”
”Eh, harus. Kalau nggak, nanti badanmu kotor terus.
Ini namanya mandi besar.” terang Anis.
”Mandi besar?” tanya Safiq, lagi-lagi tidak
mengerti.
”Ah, iya. Kamu kan belum pernah melakukannya. Ya
udah, ayo Umi ajarin.” Anis mengajak Safiq untuk beranjak ke kamar mandi.
Di ruang tengah, dilihatnya mas Iqbal kembali tidur
setelah menunaikan sholat subuh. Sudah kebiasaan laki-laki itu, malam melek
untuk sholat tahajud, habis subuh tidur lagi sampai waktu sarapan tiba. Dengan
bebas Anis membimbing Safiq masuk ke kamar mandi.
“Lepas bajumu,” katanya memerintahkan.
Safiq dengan patuh melakukannya. Ia tidak risih
melakukannya karena sudah biasa telanjang di depan ibu angkatnya. Tak berkedip
Anis memperhatikan penis Safiq yang kini sudah mengkerut dan kembali ke ukuran
semula.
”Pertama-tama, baca Bismillah, lalu niat untuk
menghilangkan hadast besar.” kata Anis.
”Emang Safiq baru dapat hadast besar ya?” tanya
Safiq pada ibu angkatnya yang cantik itu.
Anis dengan sabar menjawab, ”Iya, kamu tadi mimpi
enak kan?” tanyanya.
Safiq mengangguk, ”Iya sih, tapi Safiq sudah lupa
ngimpiin apa.”
”Nggak masalah, itu namanya kamu mimpi basah. Itu
tanda kedewasaan seorang laki-laki. Dan sehabis dapat mimpi itu, kamu harus
mandi besar biar badanmu suci lagi.” sahut Anis.
Safiq mengangguk mengerti. ”Terus, selanjutnya
apaan, Mi?”
”Selanjutnya… basuh kemaluanmu seperti ini,” Anis
meraih penis Safiq dan mengguyurnya dengan air. Ajaib, bukannya mengkeret
karena terkena air dingin, benda itu malah mendongak kaku dan perlahan kaku dan
menegang karena usapan tangan Anis.
”Mi, enak…” Safiq merintih.
Anis jadi serba salah, cepat ia menarik tangannya.
”Eh,”
Tapi Safiq dengan kuat menahan, ”Lagi, Mi… enak,”
pintanya.
Melihat pandangan mata yang sayu dan memelas itu,
Anis jadi tidak tega untuk menolak. Tapi sebelumnya, ia harus memastikan
segalanya aman dulu. Dikuncinya pintu kamar mandi, lalu ia berbisik pada sang
putra. ”Jangan berisik, nanti Abimu bangun.” sambil tangan kanannya mulai
mengocok pelan batang penis Safiq.
Safiq mengangguk. Yang kurang ajar, untuk meredam
teriakannya, ia meminta nnene pada Anis. “Plis, Mi. Safiq pengen.”
Menghela nafas -karena merasa dipecundangi- Anis pun
memberikan bongkahan payudaranya. Jadilah, di kamar mandi yang sempit itu, ibu
serta anak yang seharusnya saling menghormati itu, melakukan hal buruk yang
sangat dilarang agama. Safiq menggelayut di tubuh montok ibu angkatnya, sambil
mulutnya menyusup ke bulatan payudara Anis. Bibirnya menjilat liar disana.
Sementara istri Iqbal, dengan nafas memburu menahan kenikmatan, terus mengocok
penis besar sang putra hingga menyemburkan sperma yang dikandung di dalamnya
tak lama kemudian.
Banyak dan kental sekali cairan itu, meski tidak
seputih yang pertama, tapi pemandangan itu sudah cukup membuat Anis jadi horny.
Wanita itu merasakan celana dalamnya jadi basah. Tapi tentu saja ia tidak
mungkin menunjukkannya pada Safiq, bocah itu tidak akan mengerti. Jadi
cepat-cepat ia bersihkan semuanya, takut mas Iqbal yang sedang tertidur di
ruang tengah tiba-tiba bangun dan memergoki ulah mereka.
Didengarnya Safiq menarik nafas panjang sambil
mendesah puas, ”Terima kasih, Mi. Nikmat banget. Badan Safiq jadi enteng.”
Anis mengangguk mengiyakan. ”Sudah, sekarang mandi
sana. Ulangi semuanya dari awal.”
Safiq tersenyum, dan dengan bimbingan dari ibu
angkatnya yang cantik, iapun melakukan mandi wajib pertamanya.
Sejak saat itu, level ’permainan’ mereka jadi
sedikit meningkat. Anis tidak cuma memberikan payudaranya, tapi kini juga harus
memuaskan Safiq dengan tangannya. Dan si bocah, tampak senang-senang saja
menerimanya. Siapa juga yang bakal menolak kenikmatan seperti itu. Dan sampai
saat ini, Anis masih belum juga hamil, padahal ia dan mas Iqbal tidak pernah
lelah berusaha. Ah, mungkin memang belum rejekinya. Anis berusaha menerima
dengan ikhlas dan lapang dada. Toh kini sudah ada Safiq yang menemani
hari-harinya. Dan bagusnya, bocah itu bisa bertindak lebih dari sekedar anak.
Itu dibuktikan Safiq saat mereka berbincang berdua
sambil menunggu mas Iqbal yang bekerja lembur. Berdua mereka duduk di sofa
ruang tengah, di depan televisi. Mereka mengobrol banyak, mulai dari sekolah
Safiq hingga saat-saat intim mereka berdua yang menjadi semakin sering. ”Kamu
nggak bosen nenen sama Umi?” tanya Anis sambil membelai rambut Safiq yang
lagi-lagi tenggelam ke belahan buah dadanya.
Dengan mulut penuh payudara, Safiq berusaha untuk
menjawab, ”Ehm… enggak, Mi. Susu umi enak banget!”
”Saat aku kocok gini, enak juga nggak?” tanya Anis
yang tangannya mulai menerobos ke dalam lipatan sarung Safiq.
Safiq melenguh pelan saat merasakan jari-jari Anis
melingkupi batang kemaluannya dan mulai mengocok pelan benda coklat panjang
itu. ”Hmm, enak, Mi.” sahutnya jujur.
Anis tersenyum, dan melanjutkan aksinya. Terus ia
permainkan batang penis sang putra angkat hingga Safiq melenguh kencang tak
lama kemudian. Badan kurusnya kejang saat spermanya berhamburan mengotori
sarung dan tangan Anis. Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis memperhatikan
tangannya yang belepotan sperma, dan selanjutnya mengelapkan ke sarung Safiq.
Lalu dipeluknya bocah itu penuh rasa sayang.
”Terima kasih, Mi.” gumam Safiq di sela-sela pelukan
mereka.
Anis mengecup pipinya lalu membimbing anak itu untuk
pindah ke kamar, sekarang sudah waktunya untuk tidur. Tapi Safiq tidak langsung
beranjak, ia tetap duduk di sofa, sementara Anis sudah berdiri di hadapannya.
Safiq menengadah memandangnya dengan tatapan sayu. Dengan nada bergetar, bocah
itu berucap, ”Safiq sayang Umi,” sambil mulutnya mendekat untuk mencium
kemaluan Anis.
Anis jadi bingung, mau menolak, tapi takut membuat
Safiq kaget dan malu. Dibiarkan, ia tahu apa yang diinginkan bocah kecil itu.
Belum sempat menjawab, tangan Safiq sudah menyusup ke balik dasternya untuk
mengusap paha Anis dari luar. Dan terus makin ke atas hingga menemukan CD yang
membungkus pantat bulatnya. Anis sedikit terhentak saat Safiq memegang dan
menarik turun kain mungil itu. ”Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan?” teriaknya,
tapi tetap membiarkan sang putra angkat menelanjangi dirinya. Ia berpikir,
mungkin Safiq hanya akan menciumnya sesaat saja.
Tapi tebakannya itu ternyata salah. Memang Safiq
cuma mencium pelan, hanya bagian luar yang dijamah oleh bocah kecil itu. Tapi
itu cuma awal-awal saja, karena selanjutnya, saat melihat tidak ada penolakan
dari diri Anis, iapun melakukan yang sebenarnya, Safiq mengangkat salah satu
kaki Anis ke sandaran sofa hingga kini selangkangan sang ibu angkat terbuka
jelas di depan matanya. Diperhatikannya kemaluan Anis yang basah merona
kemerahan untuk sesaat, sambil tangannya meremas dan mengelus-elus bongkahan
pantat Anis dengan gemas.
”Ehm,” Anis melenguh, tubuh sintalnya mulai
bergetar. Ia yang awalnya ingin menolak, kini malah terdiam mematung. Anis
pasrah saja saat bibir kemaluannya mulai disentuh oleh Safiq, dari mulai
jilatan yang sopan hingga semakin lama menjadi semakin gencar. Akhirnya Anis malah
merapatkan kemaluannya ke bibir Safiq dan tanpa sadar mulai menggoyangkan
pinggulnya. Aksinya itu membuat Safiq semakin leluasa menciumi lubang
kemaluannya.
”Ough…” Anis merasakan lidah Safiq semakin kuat
menari dan menjelajahi seluruh lekuk kemaluannya. Ia merasakan cairan
kewanitaannya semakin deras mengalir seiring dengan rangsangan Safiq yang
semakin kuat. Entah darimana bocah itu belajar, tapi yang jelas, jilatan dan
hisapannya sungguh terasa nikmat. Tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh mas
Iqbal membuat Anis merintih kegelian, namun terlihat sangat menyukai dan
menikmatinya. Ia elus-elus kepala Safiq yang terjepit diantara pangkal pahanya,
hingga akhirnya tubuhnya mengejang dan menekuk kuat tak lama kemudian.
Safiq yang tidak mengetahui kalau Anis akan mencapai
puncak, terus menghisap kuat-kuat disana. “Uuhh…” didengarnya sang ibu angkat
melenguh sambil menghentak-hentakkan pinggulnya. Dari dalam lubang surga yang
tengah ia nikmati, mengalir deras cairan bening yang terasa agak sedikit kecut.
Baunya pesing, seperti bau air kencing. Cepat Safiq menarik kepalanya, tapi tak
urung, tetap saja beberapa tetes air mani itu membasahi mukanya.
Diperhatikannya Anis yang saat itu masih merapatkan kaki dengan tubuh
mengejang-ngejang pelan. Selanjutnya, tanpa suara, istri Iqbal itu jatuh
lunglai ke atas sofa, menindih badan kurus Safiq ke dalam pelukannya.
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis berusaha
untuk mengatur nafasnya, sementara Safiq dengan polos melingkarkan tangan untuk
mengusap-usap bokong bulat Anis yang masih terbuka lebar.
”D-darimana kamu b-belajar seperti i-itu, Fiq?”
tanya Anis saat gemuruh di dadanya sedikit mulai tenang.
Safiq memandangnya, ”Dari Umi,” jawabnya polos.
“Jangan ngawur kamu, Umi nggak pernah ngajarin yang
seperti itu.” sergah Anis sedikit berang.
“Memang nggak pernah, tapi Umi pernah memintanya.”
sahut Safiq.
“Meminta? Maksud kamu…”
Safiq pun berterus terang. Kemarin ia memergoki
kedua orang tua angkatnya bercinta di ruang tengah, di sofa dimana mereka
tengah berpelukan sekarang. Saat itu Anis meminta agar mas Iqbal mengoral
kemaluannya, tapi laki-laki itu menolak dengan alasan jijik dan dilarang oleh
ajaran agama. Anis memang kelihatan kecewa, tapi bisa mengerti. Safiq yang
terus mengintip jadi menarik kesimpulan; perempuan suka jika kemaluannya
dijilat. Dalam hati Safiq berjanji, ia akan melakukannya untuk membalas budi
baik Anis yang selama ini sudah merawat dan menyayanginya.
”Kamu sudah salah paham, Fiq,” di luar dugaan,
bukannya senang, Anis malah terlihat ketakutan.
”Kenapa, Mi?” tanya Safiq kebingungan.
“Setelah menjilat, kamu pasti akan melakukan hal
lain, seperti yang kamu tonton kemarin malam. Benar kan?” tuduh Anis.
Safiq terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang
sempat terbersit di hati kecilnya untuk melakukan apa yang sudah diperbuat
kedua orang tua angkatnya. Sepertinya nikmat sekali. Sebagai seorang remaja
yang baru tumbuh, ia jadi penasaran, dan ingin merasakannya juga. Safiq sama
sekali tidak mengetahui kalau itu sangat-sangat dilarang dan tidak boleh.
“Ah, ini salah Umi juga.” keluh Anis, pelan ia
menarik tubuhnya dan duduk di sisi Safiq. Tangan Safiq yang terulur untuk
memegangi bongkahan payudaranya, ditepisnya dengan halus. Safiq jadi terdiam
dan menarik diri. Anis merapikan bajunya kembali.
“M-maaf, Mi.” lirih Safiq dengan muka menunduk,
sadar kalau sudah melakukan kesalahan besar.
“Tidak apa-apa. Tapi mulai sekarang, jangan nenen
sama Umi lagi, kamu sudah besar.” putus Anis sambil bangkit dan beranjak menuju
kamar, meninggalkan Safiq sendirian di ruang tengah menyesali kebodohannya.
***
Esoknya, Anis menyiapkan sarapan dalam diam. Dia
yang biasanya ramah dan ceria, hari ini terlihat seperti menanggung beban
berat. Mas Iqbal bukannya tidak mengetahui hal itu, tapi dia mengira Anis cuma
lagi PMS saja. Tapi setelah ditunggu berhari-hari, dan sang istri tercinta
tetap cemberut saja, bahkan cenderung keras hati, iapun mulai curiga.
”Ada apa, Nis? Kuperhatikan, kamu berubah
akhir-akhir ini. Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantu.”
Anis menggeleng, ”Ah, nggak, Mas. Tidak ada apa-apa,
aku cuma lagi capek aja.”
”Jangan bekerja terlalu keras. Ingat, kita kan lagi
program hamil.” Mas Iqbal mengingatkan.
Anis berusaha untuk tersenyum, ”Iya, Mas.” Dan saat
sang suami merangkul lalu mengecup bibirnya untuk diajak menunaikan sunnah
rasul, iapun berusaha melayani dengan sepenuh hati. Siapa tahu, dengan begitu
ganjalan di relung hatinya bisa cepat sirna.
Tapi harapan tetap tinggal harapan. Bukannya hilang,
hatinya malah semakin resah. Apalagi saat melihat Safiq yang mulai menjauhinya.
Bukan salah bocah itu juga, Anis juga jarang mengajaknya bicara berdua seperti
dulu. Sejak peristiwa di ruang tengah itu, mereka jadi seperti dua orang asing,
hanya saat benar-benar perlulah mereka baru bertegur sapa.
Di sisi lain, Anis juga seperti kehilangan sesuatu.
Penis Safiq yang besar dan panjang terus menghantui pikirannya, juga jilatan
dan hisapan bocah itu di atas gundukan payudaranya, dan yang terutama, kuluman
Safiq di lubang vaginanya yang sanggup mengantar Anis meraih orgasmenya. Semua
itu ia rindukan, meski dalam hati terus berusaha ia bantah. Tapi tak bisa
dipungkiri, pesona Safiq sudah menjerat nafsu birahinya. Kalau dia yang beriman
saja merasa seperti ini, bagaimana dengan Safiq yang ingusan? Bocah itu pasti
lebih menderita.
Anis mulai meneteskan air mata. Pikirannya kacau,
campur aduk antara ingin menolak dan minta ditiduri oleh Safiq. Ada rasa ingin
merasakan, tapi juga ada rasa takut akan dosa. Tapi adzan subuh yang
berkumandang lekas menyadarkannya, cepat ia menghapus air mata dan mengambil
air wudhu. Ia harus tegar. Ini perbuatan maksiat. Sangat salah dan berdosa.
Tidak boleh diteruskan. Kalau tidak, akan percuma lantunan tobatnya selama ini.
Tapi benarkah seperti itu?
Semuanya berubah saat Anis menerima surat panggilan
dari sekolah keesokan harinya. Safiq memberikannya dengan takut-takut, ”M-maaf,
Mi.” gagap bocah kecil itu.
Tidak menjawab, Anis menerimanya dan membacanya di
kamar. Siangnya, bersama Safiq, ia pergi ke sekolah.
”Nilai-nilainya turun, Bu. Sangat jelek sekali.”
kata ibu kepala sekolah yang gemuk berjilbab.
Anis berusaha untuk tersenyum dan meminta maaf.
”Mungkin ada masalah di rumah?” tanya ibu kepala
sekolah. ”Dulu Safiq itu sangat pintar, salah satu yang terpandai di kelas.
Tapi sepertinya sekarang lagi mengalami penurunan motivasi.”
”Emm, sepertinya tidak ada.” jawab Anis berbohong,
padahal dia sangat tahu sekali apa yang dipikirkan anak angkatnya itu.
”Baiklah, saya harap ibu membantu kami untuk
mengembalikan semangat belajarnya. Kalau begini terus, ia bisa tidak naik
kelas.” pesan ibu kepala sekolah sebelum mengakhiri pertemuan itu.
Anis pun mengucapkan terima kasih dan memohon diri.
Dilihatnya Safiq yang meringkuk ketakutan di sampingnya. Dipeluknya bocah kecil
itu dan berbisik, ”Umi tunggu di rumah, belajar yang rajin ya…”
Safiq mengangguk. Mereka pun berpisah, Anis kembali
ke rumah, sementara Safiq meneruskan pelajarannya.
Sorenya, saat pulang dari sekolah, Safiq mendapati
ibunya menyambut di ruang tamu. Wanita itu memeluknya dengan erat. ”Maafkan Umi,
Fiq. Gara-gara Umi, kamu jadi begini.” kata Anis lirih sambil berlinang air
mata.
Belum sempat Safiq berkata, Anis sudah menunduk dan
melumat bibirnya dengan lembut. Dicium untuk pertama kali, tentu saja membuat
Safiq jadi gelagapan, tapi ia cepat belajar. Saat bibir Anis terus mendecap dan
menempel di bibirnya, iapun mengimbangi dengan ganti melahap dan menghisapnya
rakus. Dinikmatinya lidah sang bunda yang kini mulai menjelajah di mulutnya.
”Ehmm… Mi,” Safiq melenguh, sama sekali tak
menyangka kalau akan diberi kejutan menyenangkan seperti ini.
”Sst…” Anis kembali membungkam bibirnya. ”Diam,
Sayang. Umi ingin menebus kesalahan kepadamu.” Pelan Anis menarik tangan Safiq
dan ditempelkan ke arah gundukan payudaranya. ”Kamu kangen ini kan?” tanyanya
sambil tersenyum manis.
Dengan polos Safiq mengangguk dan mulai
meremas-remas pelan. Jari-jarinya memijit untuk merasakan tekstur bulatan yang
sangat menggairahkan itu. Seperti biasa, ia tidak bisa mencakup seluruhnya,
payudara itu terlalu besar. Safiq bisa merasakan kalau Anis tidak memakai BH,
tubuh sintalnya cuma dibalut daster hijau muda yang sangat tipis sehingga ia
bisa menemukan putingnya dengan cepat.
“Mi,” sambil memanggil nama sang bunda, Safiq
meneruskan jelajahannya. Ia tarik tali daster Anis ke bawah hingga baju itu
turun ke pinggang, menampakkan buah dada sang bunda yang sungguh besar dan
menggiurkan. Safiq memandanginya sebentar sebelum lehernya maju untuk mulai
mencucup dan menjilatinya, sambil tangannya terus meremas-remas pelan.
Anis merebahkan diri di sofa, dibiarkannya Safiq
menindih tubuhnya dari atas. Bibir bocah itu terus menelusur di sepanjang bukit
payudaranya, mulai dari pangkal hingga ujungnya, semuanya dihisap tanpa ada
yang terlewat. Beberapa kali Safiq membuat cupangan-cupangan yang membikin Anis
merintih kegelian. Terutama di sekujur putingnya yang mulai kaku dan menegang,
baik yang kiri maupun yang kanan. Safiq menghisap benda mungil kemerahan itu
dengan begitu rakus, ia mencucupnya kuat sekali seolah seluruh payudara Anis
ingin dilahap dan ditelannya bulat-bulat. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
“Ehmmm…” merintih keenakan, Anis membimbing salah
satu tangan Safiq untuk turun menjamah kemaluannya yang sudah sangat basah. Ia
sudah menanti hal ini dari tadi. Sepulang sekolah, Anis berpikir dan merenung,
Safiq jadi malas belajar karena perseteruan mereka tempo hari. Maka, untuk
meningkatkan kembali semangat bocah kecil itu, inilah yang bisa ia lakukan.
Anis akan memberikan tubuhnya!
Jangan dikira mudah melakukannya. Anis sudah
menimbang dengan matang, memikirkan segala resikonya, dan tampaknya memang
inilah jalan yang terbaik. Selain bagi Safiq, juga bagi dirinya sendiri. Karena
tak bisa dipungkiri, Anis menginginkannya juga, hari-harinya juga berat
akhir-akhir ini. Pesona kemaluan Safiq yang besar dan panjang terus mengganggu
tidur malamnya. Mas Iqbal yang selalu setia menemani di atas ranjang, mulai
tidak bisa memuaskannya. Memang penisnya juga besar dan panjang, tapi entahlah,
dengan Safiq ia seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Sensasi yang membuat
gairah dan birahinya berkobar kencang. Sama seperti sekarang.
Bergetar semua rasa tubuh Anis begitu Safiq mulai
memainkan jari di lubang vaginanya. bocah itu menggesek-gesek kelentitnya pelan
sebelum akhirnya menusukkan jari ke dalam lubangnya yang sempit dan gelap.
”Ough,” Anis merintih nikmat. Di atas, bibir Safiq terus bergantian menjilati
puting kiri dan kanannya sambil sesekali menghisap dan menggigitnya rakus.
Anis mendorong kepala bocah kecil itu, meminta Safiq
untuk beranjak ke bawah. Safiq yang mengerti apa keinginan sang bunda, segera
menurunkan ciumannya. Ia jilati sebentar perut Anis yang masih langsing dan
kencang sebelum mulutnya parkir di kewanitaan perempuan yang sudah membiayai
hidupnya itu.
”Jilat, Fiq!” Anis meminta sambil membuka kakinya
lebar-lebar, memamerkan kemaluannya yang sudah becek memerah pada Safiq.
Si bocah menelan ludah, memandangi sebentar lubang
indah yang terakhir kali dilihatnya sebulan yang lalu itu. Perlahan mulutnya
turun saat Anis menarik kepalanya. Safiq menjulurkan lidah dan mulai
menciuminya. Ia lumat bibir tipis yang tumbuh berlipat-lipat di tengah
permukaannya. Bulu kemaluan Anis yang tercukur rapi juga diciuminya dengan
senang hati. Anis merasakan Safiq membuka bibir kemaluannya dengan dua jari. Dan
saat terkuak lebar, kembali lorongnya dibuat mainan oleh bocah kecil itu.
Lidah Safiq bergerak liar, juga cepat dan sangat
dalam. Namun yang membuat Anis tak tahan adalah saat lidah bocah itu masuk
diantara kedua bibir kemaluannya sambil menghisap kuat-kuat kelentitnya. Lama
tidak bertemu, rupanya Safiq jadi tambah lihai sekarang. Diam-diam Anis
bersyukur dalam hati, rupanya ia tidak salah membuat keputusan. Memang, ia tahu
ini dosa -salah satu dosa besar malah- tapi kalau rasanya senikmat ini, ia sama
sekali tidak menyesal telah melakukannya.
Safiq terus memainkan kemaluan Anis. Mulutnya
menghisap begitu rakus dan kencang, hingga dalam beberapa menit, membuat sang
bunda jadi benar-benar tak tahan. ”Auw… arghh!” Mengejang keenakan, Anis pun
berteriak sekuat tenaga sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Kelentitnya
yang sedang dijepit oleh Safiq, berkedut kencang saat cairannya menyembur deras
membasahi lantai ruang tamu.
”Hah, hah,” terengah-engah, Anis meremas pelan
rambut Safiq yang duduk berjongkok di lantai.
”Enak, Mi?” tanya bocah kecil itu dengan polos,
matanya menatap sang bunda sebelum beralih memandangi selangkangan Anis yang
masih mengucurkan sisa-sisa cairan orgasmenya.
Anis mengangguk, ”Nikmat banget, Sayang.” bisiknya
sambil berusaha untuk bangkit.
”Mau kemana, Mi?” tanya Safiq cepat, takut tidak
mendapatkan jatahnya.
”Kita pindah ke kamar, disini terlalu berbahaya,
nanti dipergoki sama tetangga.” sahut Anis. Ditariknya tangan sang putra untuk
masuk ke dalam rumah. Beriringan mereka menuju kamar.
”Kamarmu,” kata Anis saat melihat Safiq ingin
berbelok ke kiri. Safiq segera memutar langkahnya, kamar mereka memang
berseberangan.
Di dalam, tanpa menunggu lama, Safiq segera
menelanjangi diri. Begitu juga dengan Anis. Dengan tubuh sama-sama telanjang,
mereka naik ke atas tempat tidur. ”Kamu pengen nenen?” tanya Anis sambil
mendekap kepala Safiq dan lekas ditaruhnya ke atas gundukan payudaranya.
Tanpa menjawab, Safiq segera mencucup dan menciumi
dua benda bulat padat itu. Dihisapnya puting Anis dengan begitu rakus sambil
tangannya bergerak meremas-remas pelan. Di bawah, penisnya yang sudah ngaceng
berat terasa menyundul-nyundul lubang kelamin Anis.
”Fiq, ayo masukkan!” pinta perempuan cantik itu. Ia
membuka pahanya lebar-lebar sehingga terasa ujung penis Safiq mulai memasuki
lubangnya.
”Gimana, Mi, didorong gini?” tanya Safiq polos
sambil berusaha menusukkan penisnya.
”Yah, begitu… oughhh!” Anis melenguh, penis Safiq
terasa membentur keras, tapi tidak mau masuk. Dengan pengalamannya, Anis bisa
mengetahui penyebabnya. Maka dengan cepat ia bangkit berdiri dan meraih penis
Safiq, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Ahh, Mi!” Safiq menjerit, sama sekali tak menyangka
kalau sang bunda akan berbuat seperti itu. Dan asyiknya lagi, rasanya ternyata
begitu nikmat, lebih nikmat daripada dikocok pake tangan. Safiq mulai
mengerang-erang dibuatnya, tubuhnya kelojotan, dan saat Anis menghisap semakin
kuat, iapun tak tahan lagi. Penisnya meledak menumpahkan segala isinya yang
tertahan selama ini. Begitu banyak dan kental sekali.
”Ahh,” Anis yang sama sekali tidak menyangka kalau
Safiq akan keluar secepat itu, jadi sangat kaget. Beberapa sperma si bocah
sempat tertelan di mulutnya, sisanya yang sempat ia tampung, lekas ia ludahkan
ke lantai.
“M-maaf, Mi.” kata Safiq dengan muka memerah menahan
nikmat, lelehan sperma tampak masih menetes dari ujung penisnya yang mengental.
Anis tersenyum penuh pengertian, “Tidak apa-apa.
Bukan salahmu, sebulan tidak dikeluarkan pasti bikin kamu nggak tahan.”
Penuh kelegaan, Safiq menyambut sang bunda yang kini
berbaring di sebelahnya.Mereka saling berpelukan dan berciuman. Tapi dasar
nafsu remaja, begitu payudara Anis yang besar menghimpit perutnya, sementara
paha mereka yang terbuka saling bergesekan, dengan cepat penis Safiq mengencang
kembali.
“Eh, udah tegang lagi tuh.” kata Anis gembira sambil
menunjuk penis Safiq yang perlahan menggeliat bangun.
“Iya, Mi.” Safiq ikut tersenyum.
Anis mengocoknya sebentar agar benda itu makin cepat
kaku dan menegang. Saat sudah kembali ke ukuran maksimal, ia lekas
mempersiapkan diri. Rasanya sudah tidak sabar lubang vaginanya yang gatal
dimasuki oleh kemaluan muda itu. Anis memejamkan mata saat Safiq mulai mendekap
sambil terus menciumi bibirnya, ia merasakan bibir kemaluannya mulai tersentuh
ujung penis si bocah kecil.
”Tunggu dulu,” Anis menjulurkan tangan, sebentar ia
usap-usapkan ujung penis Safiq ke bibir kemaluannya agar sama-sama basah,
barulah setelah itu ia berbisik, ”Sudah, Fiq, masukkan sekarang!” Anis memberi
jalan.
Safiq mulai mendorong. Pelan Anis mulai merasakan
bibir kemaluannya terdesak menyamping. Sungguh luar biasa benda itu. Ohh, Anis
benar-benar merasakan kemaluannya nikmat dan penuh sesak. Safiq terus
mendorong, sementara Anis menahan nafas, menunggu pertautan alat kelamin mereka
tuntas dan selesai sepenuhnya.
”Ahh,” Anis mendesah tertahan saat penis Safiq terus
meluncur masuk, membelah bibir kemaluannya hingga menjadi dua, memenuhi
lorongnya yang sempit hingga ke relungnya yang terdalam, sampai akhirnya mentok
di mulut rahimnya yang memanas.
Mereka terdiam untuk sejenak, saling menikmati
rangsangan kemaluan mereka yang kini sudah bertaut sempurna, begitu erat dan
intim. Rasanya sungguh luar biasa. Safiq bergidik sebentar saat merasakan Anis
yang mengedutkan-ngedutkan dinding rahimnya, memijit batang penisnya dengan
remasan pelan. Safiq membalas dengan kembali mencium bibir dan payudara sang
bunda, sambil tangannya tak henti-henti meremas-remas bulatannya yang padat
menggoda.
Beberapa detik berlalu. Saat Anis sudah merasa
cukup, iapun meminta Safiq untuk mulai menggerakkan pinggulnya. ”Pelan-pelan
aja, nggak usah buru-buru. Kita nikmati saat-saat ini. Abi-mu masih lama
pulangnya, dia lembur malam ini.” kata Anis.
Mengangguk mengerti, Safiq pun mulai memompa
pinggulnya. Gerakannya begitu halus dan pelan, meski terlihat agak sedikit
kaku. Maklum, masih pengalaman pertama. Tapi itu saja sudah sanggup membuat
Safiq merintih keenakan, ia benar-benar cepat terbawa ke puncak kenikmatan yang
belum pernah ia alami sebelumnya. Nafasnya sudah memburu, terengah-engah.
Sementara tubuhnya mulai bergetar pelan.
Anis yang melihatnya jadi panik. ”Tahan dulu, Fiq.
Tahan sebentar!” bisiknya, ia tidak mau permainan ini berhenti begitu cepat. Ia
baru mulai merasa nikmat.
Tapi apa mau dikata, jepitan kemaluan Anis terlalu
nikmat bagi seorang perjaka seperti Safiq. Diusahakan seperti apapun, bocah itu
sudah tak mampu lagi. Maka hanya dalam waktu singkat, Safiq pun menjerit dan
kembali menumpahkan spermanya. Kali ini di dalam kemaluan Anis. Cairannya yang
kental berhamburan saat Safiq ambruk menindih tubuh bugil sang bunda dengan
nafas ngos-ngosan.
”Ah, Safiq!” meski terlihat kecewa, namun Anis
berusaha untuk memakluminya. Ia belai punggung Safiq dengan lembut. Penis bocah
itu yang masih menancap di lorong vaginanya, masih terasa berkedut-kedut,
menguras segala isinya. Anis merasakan liangnya jadi begitu basah dan penuh.
Mereka terus berpelukan untuk beberapa saat hingga
tiba-tiba Anis menjerit kaget, ”Ah, Fiq!” tubuh montoknya sedikit terlonjak
saat merasakan penis Safiq yang tiba-tiba saja kaku dan menegang kembali.
”Cepet banget!” pujinya gembira. Diciumnya bibir bocah itu sebagai hadiah.
Safiq cuma tersenyum dan kembali memperbaiki posisi.
Ia sudah siap untuk beraksi. Sambil melumat bibir dan leher Anis, ia mulai menggerakkan
pinggulnya.Remasan tangannya di payudara sang bunda juga kembali gencar,
secepat tusukannya yang kini sudah mulai lancar dan tahan lama.
”Ahhh… terus, Fiq. Yah, begitu!” Anis yang
menerimanya, merintih dan menggeliat-geliat tak terkendali. Tubuh montoknya
menggelepar hebat seiring goyangan Safiq yang semakin kuat. Dengan tusukannya
yang tajam, bocah itu membuat vagina Anis menegang dan berdenyut pelan,
benar-benar puncak kenikmatan yang belum pernah ia alami selama enam tahun
pernikahannya dengan mas Iqbal. Ohh, sungguh luar biasa. Anis jadi tak ingat
apa-apa lagi selain kepuasan dan kenikmatan. Dosa dan neraka sudah lama hilang
dari pikirannya. Hati dan kesadarannya sudah tertutup oleh nafsu birahi.
“Fiq, ooh… oohh… terus… arghhh…” Anis sendiri terkejut
oleh teriakannya yang sangat kuat. Pelan tubuhnya bergetar saat cairan
kenikmatannya menyembur keluar.
Safiq yang juga kesetanan terus memompakan
kemaluannya berulang kali, dan tak lama kemudian ikut menggelepar. Wajahnya
yang tampan menengadah, sementara kedua tangannya mencengkeram dan menekan
payudara Anis kuat-kuat. Di bawah, spermanya yang kental kembali meledak di
dalam vagina sang bunda, memancar berulang kali, hingga membuat rahim Anis jadi
begitu basah dan hangat.
”Oh,” Anis melenguh merasakan banyak sekali cairan
kental yang memenuhi liang vaginanya.
Setelah selesai, Safiq memiringkan tubuh sehingga
tautan alat kelamin mereka tertarik dan terlepas dengan sendirinya. Tangannya
kembali meremas lembut payudara Anis sambil bibirnya menciumi wajah wanita yang
sangat dikasihinya ini. Anis senang dengan perlakuan Safiq terhadap dirinya.
“Fiq, kamu sungguh luar biasa.” puji Anis kepada
putra angkatnya. ”Cepet banget tegangnya, padahal barusan keluar.”
Safiq tersenyum, ”Trims, Umi. Safiq senang bisa
membuat Umi bahagia.”
”Tapi kamu juga nikmat kan?” goda Anis.
”Tentu saja, Mi.” Safiq mengangguk.
“Mau lagi?” tawar Anis.
”Umi nggak capek?” Safiq bertanya balik.
”Seharusnya umi yang tanya begitu,” sahut Anis, dan
mereka tertawa berbarengan.
***
Sejak saat itu, hubungan mereka pun berubah. Bukan
lagi seorang ibu dan anak, tetapi berganti menjadi sepasang kekasih yang selalu
berusaha untuk memuaskan nafsu masing-masing. Kapanpun dan dimanapun.
Prestasi Safiq kembali meningkat, bahkan lebih dari
sebelumnya. Sementara Anis, mendapat hikmah yang paling besar. Ia kini hamil,
sudah jalan 2 minggu. Sudah jelas itu anak siapa, tapi sepertinya mas Iqbal
tidak curiga. Malah laki-laki itu kelihatan sangat senang dan gembira, sama
sekali tidak curiga saat Anis kelepasan ngomong, ”Selamat, Fiq, sebentar lagi
kamu akan menjadi seorang ayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.